Saat Ada dan Tiada
oleh Aa Gym
Bagi
orang yang hatinya belum sungguh-sungguh kepada Allah, maka sikapnya
ditentukan oleh kondisi hatinya. Ketika diberi ia akan terlalu gembira
karena pemberiannya itu, dan saat ditolak ia akan kecewa, karena
harapannya tak tersampaikan.
Namun
bagi orang yang mengetahui atas apa yang terbaik bagi dirinya itu
berasal dari Allah, maka pemberian dan penolakan tidak membuat senang
dan susah. Senang dan susahnya jika ia tidak mau bersyukur dan
bersabar. Ia akan kecewa bila tidak bisa bersyukur dan bersaba; bukan
pada ada dan tiadanya, dia akan kecewa.
Misalnya
bagi seorang pedagang yang bergantung pada makhluk, gejalanya dapat
dirasakan senang apabila ada pembeli dan kecewa bila tidak ada
pembeli.
Mulailah
berlatih ketika mendapat karunia, merasa gembira sewajarnya. Kalau
mendapat nikmat itu semata-mata hanya kemurahan Allah, jangan
dikait-kaitkan dengan kehebatan ibadah kita, karena Allah tidak bisa
dipaksa.
Contoh
lainnya, ketika memperoleh gaji ia merasa sangat senang, namun ketika
uang gaji itu harus keluar untuk membayar keperluannya, lalu ia
bersedih, berarti kita masih senangnya dengan sesuatu yang datang, dan
sedih dengan sesuaatu yang harus keluar.
Padahal
kalau kita tafakuri, uang itu sesungguhnya sejak dari dahulu hingga
saat ini terus saja mengalir. Gaji itu lalu lintas takdir Allah
sebagai salah satu aliran rejeki. Sehingga bergembiranya kita bukan
pada adanya uang, melainkan adanya ladang amal. Bila waktunya uang itu
harus pergi, seharusnya tidak bersedih.
Dengan
demikian, apabila kita menyukai dengan apa saja yang ditetapkan
Allah, maka itu tanda bagi orang yang bersyukur, dan merasa bahagia
apabila karunia yang diberikan Allah kepada orang lain, dan itu juga
buah dari syukur.
Perbuatan
syukur apabila nikmat itu datang kepada dirinya, lalu ia mengucapkan
alhamdulillah. Apabila ia selalu bersyukur kalau nikmat tidak hanya
datang pada dirinya, maka inilah sifat syukur yang derajatnya lebih
tinggi. Karena kita menyukai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah.
"Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS Az-Zumar : 66)
Pada
kenyataannya, ada orang yang menyukai bahwa nikmat itu hanya untuk
dirinya, hal itu tidak menjadi amalan yang maksimal bagi dirinya.
Semestinya kita menyenangi Allah jika memberi nikmat pada
makhluk-makhluknya yang lain, bukan hanya bergembira karena nikmat itu
diberikan kepada kita.
Ketika
kita menerima suatu nikmat, wajar jika kita menjadi gembira, karena
langsung menyangkut dengan diri kita, namun sebuah pencapaian
keyakinan yang lebih tinggi apabila kita bersyukur ketika orang lain
memperoleh nikmat juga. Ketika kita mendapat nikmat, hendaklah tidak
dikait-kaitkan dengan kelebihan dan kemampuan kita, semua semata-mata
karena Allah tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.
Coba
direnungkan, apakah banyak yang cocoknya atau tidak dalam kehidupan
kita ini? Barangkali di antara kita akan banyak yang menjawab banyak
yang tidak cocoknya. Lalu mengapa kita masih hidup, berpakaian lagi,
ditutupi aib. Jadi, di mana ruginya… Bahkan tidak jarang Allah
memberikan sesuatu yang tidak cocok, padahal itulah yang terbaik bagi
kita.
Yang
kita inginkan seringkali yang cocok menurut nafsu, karena pendeknya
pengetahuan kita. Barometer bagus menurut kita, itu sesuai dengan
dengan nafsu, sedangkan menurut Allah yang bagus cocok menurut iman.
Misalnya, sehat menurut kita bagus, tapi Allah Maha Tahu, dengan
sakit itu hikmahnya bisa menjadi kita lebih dekat dan terjaga dari
maksiat.
Adakalanya
kita terus menerus berlimpah rejeki, lalu membuat kita lengah dalam
ibadah, maka bisa saja dibuat kejadian yang membuat kita tidak
bersandar kepada gaji. Dengan hilang pekerjaan, misalnya. Hingga ia
tidak menyandar kepada apa pun, Allah membuatnya ia terlepas pada
sandaran apa pun, agar benar-benar tawakal kepada Allah. Hingga
benar-benar pasrah kepada-Nya.
Jadi
apabila kita masih senang dengan datangnya sesuatu, dan sedih dengan
hilangnya sesuatu, maka memang kita masih kekanak-kanakan. Kita masih
memanjakan nafsu kita. Tapi kalau mau melihat perbuatan Allah, kita
tidak cukup melihat senang dan susah seperti apa adanya, melainkan
semua itu sebagai satu karunia.
Jadi
tidak boleh sok tahu terhadap takdir yang terbaik baik kita, karena
ini yang membuat ‘ada’-nya membuatnya menjadi terlalu bergembira, dan
‘tiada’-nya menjadi sengsara hati.