Bahaya Pujian
oleh Aa Gym
Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan
gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
(sesuatu) dengan Tuhan mereka. (QS Al Anam:1)
Mengapa
ada orang yang memuji? Karena mereka tidak mengetahui siapa diri kita
sebenarnya. Kalau orang lain ternyata mengetahui yang sebenarnya, pasti
tidak akan mau memuji. Bila kita dipuji dan menikmatinya atas sesuatu
yang tidak ada pada diri kita, maka hal tersebut akan menimbulkan
bahaya, karena menjadikan kita yakin atas apa yang dikatakan orang
tersebut, sebagai suatu pujian, yang berarti kita sudah bersikap tidak
jujur kepada diri kita sendiri. Padahal orang-orang memuji tidak lain
hanya menyangka saja. Sebab utama kita dipuji dan dihargai orang lain
karena Allah masih menutup aib, maksiat, dan dosa kita.
Semestinya
pujian itu bisa menjadikan diri kita malu, karena mereka menyangka
sesuatu yang sesungguhnya tidak ada pada diri kita. Tapi bagi seorang
pecinta dunia, dia akan menikmati sesuatu yang tidak ada pada dirinya
itu, yang artinya dia sudah berbuat bohong pada dirinya sendiri.
Dan
yang paling parah dari pujian ini adalah kita menjadi terpenjara,
Misalnya, bila seseorang sudah terlanjur dipuji dengan pujian sebagai
orang shaleh, kemudian kita akan merasa takut apabila cap shaleh
tersebut hilang pada diri kita, sehingga kita akan melakukan apa saja
agar pujian itu tidak hilang diberikan kepadanya. Akibat dari pujian itu
pun, maka akan dengan mudah kita bisa menyalahkan/merendahkan mereka
yang dianggap tidak shaleh.
Dia
akan terbelenggu dan terpenjara oleh status tersebut. Dia akan sulit
menerima kebenaran dari orang lain, dan mengakui kekurangan dirinya.
Sikap
senang dipuji pun berakibat terhadap tidak akan adanya rasa ikhlas.
Dia akan beramal berbuat hanya untuk mempertahankan pujian itu.
Misalnya, dia akan mengatur penampilannya agar bisa dipuji orang lain.
Bila demikian, ia tidak mungkin dikategorikan ikhlas. Ia melakukan apa
pun bukan untuk Allah lagi, tapi untuk kemasan.
Pujian
itu bahaya kalau kita tidak hati-hati menyikapinya. Bahkan akibatnya
bisa menjadi malapetaka. Bisa menipu diri, dan menutup diri dari
nasihat orang, serta menghancurkan keikhlasan. Keadaan ini bisa menjadi
penjara, dan sedikit orang bisa lolos. Misalnya, penyematan panggilan
ustadz terhadap seseorang. Hal itu bisa membuatnya menjadi terjebak
menjadi senantiasa ingin dipuji dihormati.
Islam
mengajarkan kita menjadi orang asli, murni, tidak ada rekayasa atau
pura-pura; tidak ada kemasan. Kita berbuat hanya satu saja, Allah SWT
ridha menerima saja.Orang menerima atau tidak, memuji atau tidak,
menghargai atau tidak, yang penting kita melakukan kebenaran sesuai
aturan-Nya dan tidak melanggar hak orang lain. Tidak bermuka dua; mulut
dan hati bila bersikap mesti sama. Sehingga akan membuatnya terasa enak
dan nyaman bagi kita dan sekitar kita. Kalau kita berpura-pura, kita
tidak nyaman, dan orang lain pun tidak akan bisa nyaman.
Dengan
ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang
siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah
jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke
tempat yang jauh. (QS Al-Hajj:31)
Sementara,
kita pun tidak bisa menahan atas perbuatan orang lain, seperti memuji
atau mencaci, yang penting kita jangan terjebak, jangan terkecoh,
jangan terbelenggu dengan pujian yang tidak cocok untuk kita itu. Meski
demikian kita pun tetap dituntut untuk menyampaikan amar ma’ruf nahyi
munkar kepada orang lain.
Bagi
orang tua yang senantiasa memuji anaknya, berarti sama dengan merusak
(mental)-nya. Sang anak akan merasa diperlakukan istimewa, dirinya
lebih khusus, merasa lebih dari orang lain; setelah besar ia bisa
melawan orang tuanya, jika dinasehatinya. Karena ia dibesarkan untuk
tidak jujur pada dirinya, dia dibesarkan untuk melihat dan membangun
topengnya.
Bila
ditafakuri, jujur saja, kita ini tidak ada apa-apanya. Kita hanya
seorang manusia yang berlumur dosa yang ditutupi aib-aibnya. Kita hanya
orang bodoh sedikit ilmu yang orang lain tidak tahu kebodohan kita.
Kita tidak mempunyai apa-apa kecuali yang sekadar dititipkan Allah SWT
sebentar. Kalau Allah SWT mau mengambil tidak bisa ditahan.
Kita
sebenarnya tersesat kecuali Allah SWT yang menuntun. Bila kita sadari
hal ini, pujian akan membuat kita malu terhadap Allah SWT. Cacian pun
tidak akan melukai hati kita. Karena orang yang sakit hati bukan karena
dihinanya, melainkan karena butuh sesuatu dari selain Allah SWT.
Sesungguhnya
pujian harus dikaitkan dengan Allah, sehingga yang memuji tidak
tertipu dengan pujiannya. Jangan pula mengobral pujian. Kita memuji
orang lain seringkali karena didasari perasaan takut orang tersebut
akan memarahnya, atau ada maunya. Padahal kita tahu sulit sekali memuji
kepada orang lain karena karakter buruknya tetap bisa dirasakan walau
tersembunyi.
Dalam
memuji hendaklah berhati-hati, karena bisa merusak keikhlasan yang
dipujinya. Memang naluri kita ingin dipuji, namun inginlah dipuji oleh
Allah SWT yang mengetahui lahir batin kita sesungguhnya. Karena itu
sesuatu yang akan menjadi mengasyikan dan kita menjalani kehidupan yang
asli, bukan kepalsuan.
Ada
yang pura-pura memuji Allah SWT , tapi tidak ingat Allah SWT, supaya
ia disebut sebagai orang yang ahli memuji Allah SWT, bukan ia memuji
Allah, karena tidak bisa bohong, akan terasa oleh orang-orang yang
senantiasa berupaya membersihkan hatinya.
Ada juga orang yang merendah tapi meninggi. Ia sesungguhnya menumpang untuk tawadhu. Jadi benar-benar harus proporsional.
Rasulullah
saw sangat mewanti-wanti bahwa pujian bisa mematikan iman. Pujian
orang lain adalah prasangka orang lain pada kita. Orang memuji itu
hanya melihat topengnya kita saja. Orang yang senang pujian orang
kepada dirinya, seperti orang mabuk, mencari jalan apa pun agar orang
memberinya pujian.
"Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli." (HR. Ad-Dailami).
Cinta
pujian dan takut dicaci merupakan ciri cinta dunia. Kalau kita
terjebak dengan menikmati pujian, maka kita akan masuk dalam perangkap
ujub. Indikasinya saat kita merasa shaleh, maka dengan itu akan
terbentuklah hijab dirinya dengan Allah SWT. Di lain hal, Allah SWT-lah
yang mengatur dengan menggerakan orang yang memuji, bisa jadi, dengan
maksud untuk menguji kita, apakah akan jujur pada dirinya sendiri atau
tidak.
Sesungguhnya
pujian atau penghinaan baru sebatas ditujukan pada kulitnya. Sehingga
isi diri kita seringkali tidak sesuai dengan kulitnya. Maka tidak ada
istilah sakit hati untuk penghinaan pada diri kita. Semestinya pula
kita tidak sedikit pun mempunyai keinginan untuk dipuji dari makhluk.
Dengan demikian tidak ada gunanya merekayasa diri, seperti
membagus-baguskan penampilan hanya untuk dipuji. Sebaliknya, apa pun
kita lakukan untuk sukanya Allah saja. Orang mau menyukai maupun tidak
terhadap dirinya tidak menjadi masalah, yang penting baginya atas
seluruh perbuatan pada siapa pun adalah Allah ridho.
Di
antara manusia yang tahu mengenai diri kita adalah dirinya sendiri.
Kemalangan yang besarlah mereka yang tidak mau jujur pada dirinya
sendiri,karena ia akan menipu dirinya sendiri bahkan orang lain.
Metode untuk jujur pada diri sendiri pun bisa lebih optimal dapat dibantu dengan melakukan cara dua hal:
- Yang lebih mengetahui dirinya sendiri adalah orang-orang terdekat. Mereka melihat mendengar dan merasakan. Kalau kita tidak mau nanya pada orang terdekat kita, berarti tidak berupaya untuk jujur pada diri. Pertanyaannya, nyaman tidak pada orang terdekat kita mengenai keberadaan kita.
- Mendatangi orang-orang yang dikaruniai keyakinan yang dalam kepada Allah SWT. Sebab mata hati kita masih tertutup dengan dosa-dosa.
Allah
SWT yang menutupi aib atas kelalaian kita. Allah SWT menutupi supaya
kita bisa bertaubat. Jangan terkecoh dengan penghormatan, itu topeng.
Jangan menikmati pujian, karena itu tidak akan cocok.
Tutup Allah terbagi menjadi dua bagian, pertama, tertutup dari perbuatan dosa, kedua, tertutup dari maksiat.
Bagi
orang yang sungguh-sungguh kepada Allah, bukan ditutupi dosanya agar
tidak diketahui orang, melainkan ditutupnya jalan kita dari perbuatan
maksiat.
Fokus hidup kita hanya satu, diterima segala amal shaleh kita oleh Allah SWT, dan menjauh dari yang membuatnya jauh dari Allah.
Siapa
yang menghormati seseorang hanyalah menghormati tutup Allah. Kita
menghargai orang lain, sebetulnya menghargai tutup Allah, bukan karena
orang itu yang sebenarnya, jangan terpedaya dengan pujian orang.
Rasulullah SAW bahkan amat tidak berkenan bila melihat orang lain
memuji-muji:
"Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka." (HR. Ahmad)
Jangan
menikmati pujian atau jangan termakan terjebak pujian. Pujian itu bisa
memabukkan diri seseorang. Segalanya bisa jadi alat untuk membuatnya
dipuji. Berbuat sederhana pun bisa menjadi alat pujian, yakni, supaya
dinilai tawadlu. Padahal dengan pujian-pujian itu hidupnya bisa menjadi
munafik. Orang-orang di sekitarnya juga tidak nyaman, karena
orang-orang tidak bisa dibeli hatinya dengan kepura-puraan.