Lima Aktivitas Dai Dalam Menjaga Iklim Ramadhan
23/7/2010 | 12 Sya'ban 1431 H | Hits: 378
Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com -
Sebagai dai kita bergembira sebentar lagi akan bertemu dengan bulan
Ramadhan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Bukan karena kita akan
mendapat banyak jadwal ceramah, tapi karena semua aktivitas Ramadhan (ansyithah ramadhaniyah) mendorong kita untuk kembali kepada fitrah.
Kita
juga tahu betul bahwa Ramadhan sebagai bulan tarbiyah bukanlah program
yang berdiri sendiri. Jika lulus dari program Ramadhan dan kita telah
masuk program Allah dalam bentuk tajdid al-fitrah di bulan Syawal (Idul Fitri), program pembekalan ruhul badzl wa tadh-hiyah
di bulan Dzulhijah (Idul Adha) sudah menunggu. Di bulan itu kita
disiapkan untuk menjadi pribadi yang total dalam berdakwah dengan
mengerahkan seluruh potensi yang ada.
Syakhshiyah
(figur) dai yang seperti tersurat dalam ayat 207 Al-Baqarah dan ayat
111 At-Taubah lah yang diinginkan Allah swt. terbentuk di diri kita.
Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)
Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)
Karena
itu, kita sangat berharap nanti saat orang banyak bergembira lantaran
meninggalkan Ramadhan, kita justru bersuka cita karena memiliki
perbaikan fitrah. Sebab, hanya dengan kefitrahan yang utuhlah, kita
akan sanggup menjalani kehidupan ini secara benar sesuai dengan syariat
Islam yang Allah turunkan sebagai way of life (lihat Ar-Rum ayat 30).
Jika fitrah kita tak utuh, maka daya serap dan aplikasi keislaman kita
akan tidak sempurna.
Begitu
pula saat Idul Adha tiba. Kebanyakan orang bergembira lantaran
mendapat daging yang bisa disate bareng bersama tetangga, kita justru
bergembira dengan ikrar kesiapan untuk berkorban secara total dalam
berdakwah. Bagi kita, semangat fitrah tanpa pengorbanan bagaikan mesin
tanpa bahan bakar. Mesin dakwah Islam tidak akan bergerak tanpa kesiapan
memberi dan kesiapan korban di jalan Allah dari diri para
penghasungnya.
Karena
itu, bagi kita, mempertahankan fitrah dengan melanjutkan tradisi
ibadah di bulan Ramadhan –meski dengan intensitas yang mungkin agak
berkurang– menjadi kebutuhan. Dalam kerangka pengelolaan dakwah,
setidaknya ada lima bentuk kegiatan yang harus kita jaga dalam iklim
Ramadhan sepanjang tahun yang kita ciptakan.
Pertama, senantiasa memperhatikan aktivitas intelektual (ansyithah fikriyah).
Sebab, memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan merealisasikan
ibadah yang terdiri dari dua aktivitas –seperti yang disebut ayat 190
surat Ali Imran–, yaitu tadzakur (dzikir) dan tafakur (berpikir).
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa
neraka.
Jadi,
keutuhan fitrah bukan hanya dijaga dengan ibadah dalam bentuk dzikir
(baca: ibadah ritual), tapi juga dengan tafakur mempelajari rambu-rambu
alam semesta hingga sampai pada pemahaman yang mencapai hakikat.
Inilah aktivitas yang menjadi kelebihan Bapak kita, Adam, sehingga ia
mendapat derajat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk lain yang
lebih senior sekalipun, baik malaikat maupun jin.
Fitrah manusia, orisinalitas keislaman, dan dakwah harus dibangun melalui proses ansyithah fikriyah. Dakwah tidak boleh hanya berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah, dan manhaj saja. Sebab, jika ketiganya berlangsung tanpa pengembangan, kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal (kebosanan) dan futur (kemandegan).
Padahal,
kereta dakwah yang kita ada di dalamnya bertujuan untuk membangun
sebuah peradaban baru yang menghidupkan nilai-nilai Islam dalam dimensi
kekinian. Kita bukan saja ingin membentuk setiap individu dalam
masyarakat kita sebagai muslim yang berakidah shahihah, tapi
juga lokomotif peradaban baru berdasarkan nubuwah yang dibawa Nabi
Muhammad saw. Karena itu, kerja-kerja pikir menjadi tuntutan yang harus
dilakukan para dai jika ingin bisa mengendarai peradaban (rukub al-hadharah).
Inilah hukum besi sejarah yang tidak bisa ditawar. Itulah tiket yang
wajib kita miliki jika ingin menang di kancah pertarungan peradaban.
Dengan
fitrah yang senantiasa terjaga keutuhannya dan visi-misi ibadah,
seorang dai harus bisa memfungsikan peran kekhilafahan yang Allah swt.
bebankan di atas pundaknya. Jadi, seorang dai memang bukan saja harus
mampu memahami dinamika sejarah, tapi harus selangkah lebih maju dari
isu-isu kemanusiaan, trend peradaban, dan perkembangan
sosial-budaya-politik yang tengah terjadi.
Kedua, selalu memperhatikan pengembangan kerjasama dan penataan tatanan dakwah (tathwir amal jama’i wa tanzhimi). Sebagai dai kita harus memiliki al-fahm as-syamil wal iltizam al-kamil (pemahaman dan komitmen paripurna) untuk bisa menggerakkan dakwah dengan konsepsi syumuliyah mutakamilah.
Fase-fase dakwah yang terus berkembang pesat, dari fase pembentukan
kader, pembentukan keluarga-keluarga Islami, membentuk masyarakat
Islami, hingga memperbaiki negeri, menuntut dipenuhinya unsur-unsur
penyempurna dalam pendekatan dakwah yang sesuai dengan realitas dunia
yang berkembang cepat.
Dakwah
tidak bisa lagi hanya melakukan pengkaderan, tapi aktivitas yang
beragam sesuai dengan fase dan skup dakwahnya. Namun, dalam fase apa
pun, sumber daya penggerak dakwah (dalam bentuk waktu, jumlah kader,
dan dana dakwah) selalu lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Karena itu,
kita harus cerdas mengelolanya dengan membuat prioritas amal jama’i yang tepat, syukur-syukur bisa ikut menggerakan program-program yang menjadi prioritas sekunder.
Dalam
aktivitas dakwah yang telah menyentuh fase memperbaiki negara dan skup
dakwah dengan spektrum yang luas, tidak lagi sekadar mencetak kader,
dakwah memerlukan para pengusung yang siap memikul beban, bukan menjadi
beban. Dakwah harus dipikul oleh kumpulan dai-dai sehat yang saling
bersinergi memberi dan berkorban, saling membantu, senasib dan
sepenanggungan untuk mengobati penyakit yang mengidap di tubuh umat.
Memang betul Rasulullah saw. pernah bersabda, “An-naasu ka ibili mi’ah laa takaadu tajidur rahhilah, manusia
itu bagaikan seratus unta, tapi hampir saja dari jumlah yang banyak
itu kamu tidak mendapatkan unta rahilah, yang sanggup membawa beban
berat.” Karena itu, kita berdoa semoga kita adalah yang satu itu.
Persis seperti perkataan Umar bin Khaththab, “Jika ada seribu orang
muhajid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada
seratus orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya;
jika ada sepuluh orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di
antaranya; jika ada satu orang muhajid berjuang di garis depan, itulah
aku!” Mari kita tingkatkan kapasitas dan kapabilitas diri kita selalu
cocok untuk memikul beban dakwah di setiap fase.
Ketiga, senantiasa memberi perhatian pada pengembangan ilmu, wawasan dan perabadan (tathwir ilmi wa tsaqafi wa hadhari). Ini aspek penting untuk meningkatkan penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib (metoda) dalam memperjuangkan peradaban yang kita idamkan.
Kita
harus mampu mengantisipasi masa depan dengan memahami perkembangan
trend ilmu dan teknologi, trend ekonomi, politik dan budaya. Bahkan,
kita harus maju melangkah dengan menjadikannya sebagai sarana dakwah.
Karena itu, belajar dan tingkatkan terus wawasan kita. Serap informasi
dunia, khususnya yang terkait dengan tathwir ilmi wa tsaqafi, sehingga kita mampu mengokohkan pemahaman masyarakat melalui unsur-unsur peradaban.
Keempat, memperhatikan pengembangan sosial dan ekonomi (tathwir ijtima’i wa iqtishadi).
Berdakwah tentu saja berarti kita harus berinteraksi dengan masyarakat
berikut dinamika peradaban yang melingkupnya yang terus menerus
berubah. Tentu saja tanpa kita menanggalkan prinsip dan kepribadian
Islam yang telah menjadi jati diri kita.
Untuk itu, Rasulullah memberi empat resep pola pendekatan yang jitu: pertama, pendekatan budaya dan bahasa, khatibun naas ala qadri lughatihim, berbicara dengan manusia sesuai bahasa mereka. Kedua, pendekatan intelektual, khatibun naas ala qadri uqulihim, bicaralah dengan manusia sesuai kemampuan nalarnya. Ketiga, pendekatan sosial, anzilun nas manazilahum, tempatkanlah manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Keempat, pendekatan ekonomi, tu’khadzu min aghniyaaihim wa turaddu ila fuqaraihim, ambillah sebagai harta orang kaya dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka.
Namun, Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang tidak punya, tidak bisa memberi.” Karena itu, di kalangan para dai harus ada ta’awun ijtima’i dan iqtishadi. Jangan sampai ada teman seperjuangan kita yang mengeluh masalah pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Kelima, perhatian pada pengembangan politik (tathwir siyasi).
Bentuknya berupa kemampuan mendayagunakan apa yang ada untuk tujuan
dakwah. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bahwa sumber daya kafir
sekalipun (struktur kerajaan dan masyarakat Mesir waktu itu) bisa
dikendalikan sang dai untuk mensukseskan misi dakwahnya.
Begitu
juga Rasulullah saw. dengan Piagam Madinahnya di awal-awal hijrah.
Beliau mampu membuat rekayasa politik yang positif dengan membentuk
kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mempertahankan
kota Madinah jika diserang musuh.
Jadi,
seorang dai tidak alergi untuk membentuk aliansi strategis dengan
kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin
mempertahankan kedaulatan negara dan menyejahterakan masyarakat.
Dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tercipta, dakwah akan bisa
dilakukan lebih masif dan mengcover semua penduduk negeri. Itulah
rahasia kemenangan perjanjian Hudaibiyah yang baru belakangan diketahui
oleh para sahabat. Setelah perjanjian itu ditandatangani, dakwah bisa
disebarkan melampaui batas-batas wilayah Arab (sampai ke Persia dan
Romawi), sebab para dai tidak lagi disibukan dengan kegiatan perang.
Begitulah cara dai memaknai Ramadhan dan beraktivitas menciptakan suasana Ramadhan di luar Ramadhan.
http://www.dakwatuna.com/2010/lima-aktivitas-dai-dalam-menjaga-iklim-ramadhan/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+dakwatunacom+%28dakwatuna.com%29