Memeluk Rabb (1)

y Mother Is Like No Other ...

Posisi matahari semakin menghilang. Gema cinta pada nuansa Ramadhan menjadi keramaian detik sang denting yang bersambung saling mengejar. Selepas nafas dari sang pemilik ruh bersenandung, "Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan".

Di temaram lampu kampung yang berjejer rapi didepan masing-masing pemilik rumah terlihat sudah hampir semua dinyalakan. Rupanya sudah mulai ramai oleh pendatang dari berbagai pejuru di kampung ini dan membuat kampung sebelah selatanku menjadi sedikit  lebih ramai dibandingkan setahun yang lalu.

"Ngsu, jadi kau pergi ke masjid langgananmu?". Teriak Ina dari dapur kecilnya.

"Insya Allah, Ina. Ba'da maghrib, selepas buka saja aku pergi". Jawabku sambil meng_epak kelengkapan sholat untuk dimasjid nanti.

"Jangan lupa kau bawa uang saku harianmu, yang kau tetap minta, kemarin kau bilang  mau dimasukkan dikotak putih yang bertuliskan infak. Begitukan kau bilang?". Sambung Ina yang mengingatkan aku untuk mempertanggungjawabkan komitmenku di Ramadhan kali ini.

"Iya, Ina. Sudah aku masukkan ditempat yang aman". Bersyukur Ina mendukungku kembali untuk tetap mendapatkan jatah saku harianku, bahkan kali ini aku meminta lebih dari biasa. Walau aku tahu menambah 50 rupiah adalah hal yang cukup memberatkan bagi Ina yang sendirian menghidupi dan membiayai sekolahku. Ah, Ina, bagaimana aku tidak semakin patuh padamu, Ina mencintaiku dengan cara yang berbeda. Ina pilihkan sekolah terbaik, karena Ina selalu bilang bahwa bangsa ini perlu pahlawan dari anak-anak Islam yang sholih dan pintar, mau dicari dimana lagi pahlawan itu jika bukan dari negeri sendiri. Ina rajin memberiku hadiah buku tentang semua hal, yang katanya dengan begitu aku bisa melihat dunia manapun yang ku inginkan. Bahkan Ina selalu membangunkan aku di waktu subuh sebelum waktunya, karena Ina juga selalu bilang, "Su, kalau kau menjadi bagian dari barisan jama'ah di musholla disubuh hari, maka kau akan mudah untuk memasuki rumah Allah diwaktu-waktu yang lain, dengan begitu maka kau telah membantu Ina untuk tidak lebih banyak mengkhawtirkan tentang agamamu." Ah, lamunanku melayang begitu saja jika mengingat ucapan Ina.

"Ngsu, jangan lupa panaskan motormu agar lebih lancar jalannya. Karena seharian kau tidak keluar rumahkan?". Sambung Ina

"Sudah, Ina, tinggal kutambahkan seliter bensin. Nantilah aku beli dirumah Mura."

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar ..."

"Ngsu,Ngsu, dimana kau? sudah waktunya buka puasa. Hentikan sebentar baca qur'anmu atau kau melamun lagi?"

"Iya, Ina, sebentar lagi, aku menyelesaikan peralatan untuk ke masjid nanti."

"Cepatlah kemari, tak baik kau lambatkan waktu berbuka mu, kalo sahur, bolehlah kau akhirkan."

Aku langkahkan kakiku ke bilik dapur kami yang sangat sederhana. Aku duduk disamping Ina yang sudah berbuka dari 3 menit lalu.

"Ina, tak apa aku tinggal 10 hari, bukannya Ina akan sibuk membantu Ina Mura untuk berlebaran nanti ?" Tanyaku untuk kesekian kalinya.

"Ngsu, kau ini, bukannya sudah Ina bilang, tak perlu kau pikirkan hal itu. Jika Ina kuat saja duduk dibelakang kau, Ina ikut ke masjid mu dan ikut berdiam disana, lebih banyak mendekatkan diri pada Allah, karena usia Ina yang semakin renta. Tapi, Ina kan sudah pilih untuk di rumah saja. Ina ingin kau habiskan waktu kau untuk Allah, kau selesaikan bacaan Qur'anmu. Apa Ina tak boleh punya anak sholih, yang kata Ina Mura sebagai tabungan dikubur nanti, klo amal jariyah, Ina bisa lakukan, insya Allah. Ina yakin bila kau berdiam diri di masjid itu banyak ilmu yang akan kau dapatkan, jadilah nanti ilmu itu akan bermanfaat buat Ina dan orang kampung ini. Sudahlah, kenapa kau pikirkan lagi?"

"Tapi, Ina. Tak tega hati tinggalkan Ina sendiri."

"Ngsu, tak seberapa jauh jarak kita. Bila ada apa-apa, masih ada yang bantu, kita masih punya tetangga, kau masih bisa Ina hubungi, kenapa jadi berpikir Allah tak bantu kita haa?"

"Tapi, Ina ... "

"Sudahlah. Habiskan makanan dimulut itu dulu, sholat maghrib lalu kau berangkat ke masjidmu. Berdo'alah Ina baik-baik saja. Ina saja berprasangka baik pada Allah, kenapa kau ragu?"

...

"Duhai Allah, Kau Maha Penjaga yang Maha Baik, Jagalah Inaku dengan baik dipenghujung Ramadhan ini. Berikan kesempatan ini sebagai hadiah terbaik bagi Ina di penghujung usianya. Sampaikan usia kami untuk kembali bersua dihari kemenangan nanti."

...
"Ina, aku berangkat dulu." Mataku masih basah.

"Sudah siap semua, Nsgu, jangan lupa Qur'an dan buku catatanmu, biar kau ingat ilmu yang kau dapat. Ina tak mau kau lupa sekata saja dari ceramah ustadz dimasjidmu."

"Sudah. Ina, bila ada apa-apa, tak apa suruh Mura menjemputku dimasjid."

"Kau ini, Ngsu, tak pernah berubah. Tak perlu kau khawatirkan atas kehidupan dan rezki Ina, ada Allah yang atur. Pergilah, hati-hati, jangan lupa kau berdzikir sepanjang perjalanan dan luangmu, agar hatimu dan hati Ina pun tenang."

"Ina." Aku mencium kedua tangan sambil bershalawat. Sepertinya aku meneteskan sesuatu ditangannya.

"Ngsu, jangan menangis. Yang bersama akan berpisah, yang hidup akan mati, semua berputar."

"Assalamu'alaikum ... "

'Alaikumussalaam ... "

Langkah kaki berbekal ridho Ina, mudahlah semua. Entah mengapa aku dipanggil Ngsu, padahal aku bukan si Bungsu seperti namaku, karena yang ku mengerti itu berarti aku adalah anak terakhir sedangkan aku tak punya kakak seperti teman-temanku.

...

Sepuluh hari aku sempurnakan berusaha dekat denganNya dan mempersiapkan hadiah untuk Ina, banyak catatan, ungkapan dan nasihat para ustadz. Ah, Ina, aku tidak akan pernah  sempurna untuk bagaimana bersyukur ketika aku menjadi anakmu dan kau adalah Ina ku, ketika aku melihat robekan kertas yang bertuliskan "My Mother is Like No Other"  dan mengerti maknanya, yang dengan tanpa malu-malu ku tanya apa artinya pada ustadz terakhir yang mengisi kajian hari itu.

)Jangan sampai amalan ramadhan menjadi sia-sia karena tiga hal ; menjadi anak yang durhaka pada orang tua, memutuskan silaturrahim, dan suami atau istri yang mengkhianati salah satunya(






 

Postingan Populer