Pendidikan Berkarakter Mahalkah?

M
as Yudi, kami pertama kali mengenalnya saat beliau menjadi marbot mesjid. Ia begitu akrab dengan anak-anak murid ngajinya. Begitu ramah menyapa setiap orang yang ia jumpai. Senyumnya lebar, tulus, tak ada beban. Padahal berapa pendapatan duniawi seorang marbot mesjid?
 
Tak lama kemudian ia menikah, dengan seorang istri yang sholehah. Saya semakin terpana, karena ia dan istrinya begitu bahagia dalam kesederhanaannya. Berjualan obat-obat herbal dan mengajar privat mengaji di berbagai tempat. Kebahagiaan selalu terpancar dari wajahnya. Senyumnya selalu mengembang.

Kami selalu teringat padanya setiap kali berniat mencari guru ngaji untuk anak-anak. Ketika kami tanyakan padanya, beliau menjawab, jadwalnya sudah sangat penuh. Ya tentu saja, siapa yang tak ingin menjadikannya guru ngaji bagi anak-anaknya. Ia sosok yang ramah, sopan, memiliki sikap hormat, helpful, dan etos kerja yang tinggi.

Sifat yang dimiliki mas Yudi inilah yang mungkin yang disebut-sebut sebagai karakter, oleh para ahli pendidikan saat ini.

Karakter menjadi santer terdengar karena begitu banyak orang yang mengkhawatirkan karakter generasi saat ini.

Begitu banyak buku dan seminar mengenai hal ini. Begitu banyak pula sekolah yang menawarkan konsep pembentukan karakter bagi siswanya. Hingga akhirnya "Pembentukan Karakter" menjadi nilai tambah dari suatu lembaga pendidikan.

Jika diperhatikan, besarnya investasi pendidikan di lembaga yang menjamin pembentukan karakter murid-muridnya lebih besar daripada investasi pendidikan di lembaga pendidikan lainnya. Orangtua pun mempercayainya sebagai konsekuensi logis karena sekolah tersebut memformat ulang sistem pendidikan yang diterapkan, untuk menjamin pembentukan karakter ini tercapai. Hingga investasi yang harus ditanam di lembaga pendidikan tersebut pun berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Karena membentuk sistem pendidikan tersebut memerlukan tenaga ahli dan guru yang kompeten untuk melaksanakannya.

Di sekitar tempat tinggal saya untuk memasukkan anak ke sekolah dengan konsep pembentukkan karakter yang matang, perlu menyiapkan dana yang cukup besar baik di awal maupun bulanannya. Dimulai dari 8 juta sampai 20 jutaan.

Mahal...., begitu kadang terlintas dalam benak saya. Namun ketika pikiran saya melayang memikirkan mahalnya pendidikan bermutu, saya sering teringat pada tokoh-tokoh sederhana yang saya temukan dalam keseharian seperti Mas Yudi, yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

Sosok Mas Yudi tidak tercipta dari sekolah yang mahal. Tapi kok ya dia bisa menjadi sosok berkarakter?
Setelah saya pikir-pikir, maka tumbuh harapan saya pada sebuah sistem pendidikan, yaitu pendidikan di rumah. Pendidikan pertama yang diperoleh anak-anak kita.

Apa yang bisa kita lakukan di rumah, untuk berikhtiar membentuk karakter anak-anak kita? Tentu banyak, dan saya hanya mampu menuliskan secuil saja.
  1. Berikanlah ASI, eksklusif di 6 bulan pertama, segera setiap kali bayi kita membutuhkannya. Kenapa ASI? Karena ASI, dalam logika sederhana saya, lebih cepat tersedia dibanding susu formula yang perlu dibuat dulu. Jika kita diberi kesempatan untuk memberikannya pada buah hati kita, berikanlah. Kecepatan kita memenuhi kebutuhan bayi, akan memudahkan ia saat beradaptasi sosial kelak. Ia akan mempercayai lingkungannya sebagai sesuatu yang aman sehingga terhindar dari kecemasan bahwa ada yang mengancam dari lingkungannya. Lanjutkan ASI hingga usia yang dianjurkan yaitu 2 tahun.
  2. Tidak hanya kebutuhan ASI, pahami dan penuhi segera apa kebutuhan bayi kita. Saat ia ingin digendong, gendonglah dengan segera. Saat ingin dipeluk, peluklah dengan hangat, segera. Saat ingin diajak bicara, ajak bicaralah walaupun baru berupa ocehan. Konon menurut Ericson dalam teori perkembangannya, masa ini terjadi hingga 1,5 tahun.
  3. Saat anak mulai bisa berjalan sendiri, dan mulai bisa melakukan aktivitasnya sendiri tanpa bantuan, yaitu sekitar usia 2-3 tahun, beri kesempatan seluas-luasnya, karena inilah masa yang penting bagi anak untuk membentuk pribadi yang percaya diri kelak, yakin akan dirinya, tidak menjadi sosok yang selalu ragu-ragu. Lepaskanlah aktivitas yang sifatnya dependent/ketergantungan, seperti minum susu dengan menggunakan botol/dot, atau aktivitas lain yang serupa seperti memegangi rambut ibunya saat mau tidur, memegangi tali bantal (biasanya ditunjukkan dengan menangis saat ia tak bisa melakukan aktivitas tersebut)
  4. Di usia 4 - 5 tahun, berikan kesempatan bagi anak untuk memilih keputusan-keputusan sederhana yang ia sudah bisa lakukan, seperti baju apa yang ia pakai, makanan apa yang ia makan, plus jadwal sehari-hari. Kelak ia akan terbiasa untuk membuat keputusan nantinya.
  5. Beri porsi waktu yang cukup untuk bermain. Bermain, terutama permainan kelompok adalah senjata utama untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya baik motorik, kognitif, bahasa, sosial dan emosi.
  6. Fokus pada proses tumbuhnya minat anak untuk belajar, dimulai dengan menjawab pertanyaan anak, menyediakan buku di sekitar anak, mengajak anak bereksplorasi. Daripada hanya sekedar mengejar "bisa", seperti memberikan flash card, hanya akan mengajaknya belajar secara formal, tanpa sentuhan permainan. Begitu banyak anak yang bisa membaca, tetapi berapa banyak anak yang senang membaca. Manakah yang lebih ia butuhkan kelak?
    Begitu banyak anak yang bisa menulis, tapi berapa banyak anak yang suka menulis. Manakah yang lebih ia butuhkan kelak?
  7. Usia sekolah, inilah masa penting pembentukan perasaan mampu menuntaskan tugas. Apresiasilah setiap proses penuntasan tugas yang ia telah lakukan, secara wajar. Hargailah proses belajarnya, sikapi dengan bijak setiap kegagalan yang anak alami. Nilai merah bukanlah kiamat. Itulah moment bagi anak untuk belajar bangkit dari kegagalan.
  8. Bangunlah kemampuan anak untuk berkomunikasi. Dimulai dengan memahami perasaan mereka, saat mereka menangis, mengamuk, atau perilaku-perilaku yang mungkin menyulitkan orangtua. Bantulah mereka mengenali perasaannya. Kelak mereka akan memahami perasaan kita. Berilah contoh mendengar aktif, sehingga kelak mereka akan mendengar kita. Kemampuan ini bisa kita ajarkan kepada mereka dengan sering mengajak dialog dengan cara merefleksikan apa yang mereka rasakan.
  9. Hindari perilaku-perilaku yang menghambat komunikasi, seperti menasihati, menilai, memotong pembicaraan, dan lain sebagainya
  10. Stop labelling pada anak. Tanpa disadari, terkadang kita terlepas kata atau bahasa tubuh, yang memberikan label pada anak seperti nakal, lambat, tukang membantah, dan lain sebagainya. Padahal label-label yang kita lekatkan pada anak inilah, yang akan menjadi pembentuk karakter mereka selanjutnya. Jika kita tidak segera menghentikannya, label tersebut lama kelamaan akan menjadi pembentuk dari konsep diri mereka. Ya, saya memang nakal, maka jadilah mereka anak yang nakal. Ya, saya memang lambat, jadilah mereka anak yang lambat.

Dari sejumlah titik tekan di atas, saya yakin semua orangtua pada dasarnya bisa melakukannya, tinggal masalah komitmen dan konsistensi. Jika kita berkomitmen dan konsisten melakukannya,  karakter positif Insyaa Allah akan terbentuk pada buah hati kita.
 Ayo semangat membentuk karakter positif pada buah hati kita! Bangun generasi Muslim berkarakter!

http://ruangmuslim.com/parenting-a-pasutri/4000-pendidikan-karakter-mahalkah.html






Postingan Populer