Terapung

Berani berenang maka berani untuk tenggelam atau memilih untuk tetap sadar pada suatu kondisi, bergerak untuk terus maju menuju ketengahnya atau mundur kembali kedaratan.

Keputusan yang mudah ketika dua keputusan yang akan diambil. Bilapun memilih menuju ketengah maka semua perbekalan harus disiapkan. Nafaspun harus lebih panjang, tenaga pun harus terukur dengan cermat. Bila memilih kembali kedaratan, tak susah rasanya karena pasti akan selamat dengan perhitungan yang bisa diperkirakan.

Tapi bagaimana bila pilihan yang diberikan adalah terapung. Tak ketengah tak pula kedaratan. Rasanya terapung membuat seluruh jasad bahkan otak sekalipun menjadi dingin hingga tak mampu bergerak.

Bila terapung menjadi pilihan maka apa yang terjadi. Sang penolongpun bingung menawarkan pertolongan dan perlindungan. Hanya bisa mengawasi dalam batas tertentu, karena tak mungkin memilih lebih lama untuk melihat saja.

Bila terapung menjadi suatu pilihan. Kadar kesabaran menjadi lebih banyak, kadar nafas untuk bertahan lebih lambat, kadar bergerak menjadi lebih tenang. Padahal sang penunggu terapung tak memiliki lebih dari kesabaran dan ketabahan untuk menyelesaikan keterapungan yang dilakukan.

Hingga disuatu kondisi, lemas karena dingin yang merangkap otak dan seluruh persendian jasad membuat mati suri dan tidak mampu berpikir lebih panjang.

Bila pilihan kehidupan menjadi sebuah kondisi pada terapung rasanya sia-sia dan lambat. Walau berpikir lebih lama menjadikan lebih cermat dan lebih baik, walau sebenarna kita tahu, lambat dan cepat semua tergantung prasangka kita pada Allah dan Allah sudahlah tahu apa akhirnya.

Bila terapung dijadikan sebagai keputusan dalam menjalankan amanah-amanah yang ada, maka ide menjadi mati, mati terjerembab dalam sebuah konsep yang hanya bangga pada sebuah kisah masa lalu, kisah heroik yang pernah teralami dan terjalani dengan kebanggaan dan kebesaran sebuah kejayaan.

Bila terapung menjadi sebuah keputusan untuk menyelesaikan amanah-amanah yang ada, seakan mematikan hidup yang sudah hampir mati atau memantapkan niat untuk mati suri. Dan zaman pun terus menggerus keidealitasan menjadi sesuatu yang realistis.

Tarapung bersama keidealitasan tanpa melihat realita membuat hentakan batu terbentur pada kaki dan harus berteriak sakit. Bila terapung dalam keidealitasan tanpa menyusuri realita justru membuat pertahanan hati semakin tergores kecewa. Hingga terapung akan membuat mati suri pikir dan hati.

Berbedakah pilihannya, bila memilih terapung untuk mengendapkan semua dalam hitungan berjangka, seperti merencanakan kehidupan tapi tak pernah merencanakan kematian. Sama saja, karena yang harus direncanakan adalah kematian. Kematian yang baik dan terhormat.

Berbedakah juga pilihannya, bila memilih terapung untuk mengendapkan dan membuat semua menjadi tenang, walau yang ditinggalkan untuk mengapung seakan meledak bersama kilat dan guntur didaratan. Saat terapung pun kita masih bisa mendengarnya, masih bisa merasakan derasnya hujan bahkan saat terapung kita menjadi lebih beku seakan tak bisa merasa.

Terapung membuat kita tak merasa bahkan tak peduli, seakan mengatakan biarlah semua berlalu dan lewat begitu saja. Tapi sungguh sang penonton justru meneriakkan dengan lantang hingga habis suara dan lebih keras tangisannya, kembalilah kedaratan itu lebih baik bagimu, atau kau memilih mati dengan pergi ketengahnya tapi janganlah mengapung, kami tak ingin melihatmu mati sia-sia tanpa usaha.

Bila seperti itu, komentarnya apa yang terlintas pada jasad yang mulai mati suri? Yang ada hanyalah berpikir, kedua pilihan yang diberikan takkan ada pengaruh apapun karena telah memilih untuk tetap terapung. Karena ikhtiarnya hanya sampai batas terapung.

Bilapun terapung menjadikan pikir, hati dan keadaan menjadi lebih tenang maka adakah pilihan terhormat untuk itu. Hingga cukup terapung dalam taraf sebuah konsep dan pemikiran, jangan terlalu lama, buatlah perkiraan waktu yang membuat tenang. Dan jangan terapung pada lautan yang begitu luas dan memiliki ombak yang begitu luas lalu kembalilah pada sebuah kepercayaan bahwa ada tidak menginginkan kematian suri yang tidak jelas

Putaran angin,
120709...18.10

Disebuah titik, keputusan terapung menjadikan tenang, cukup memperhatikan dan sesekali tenggelam dengan bekunya alam, hingga rayapan puisi dan ceritapun terajut cantik pada sebuah makna yang harus mampu dimaknai.

www.yienda80.multiply.com

Postingan Populer