Di Lema Janji ...

 
Semua seperti sedang menuju berubah. Tanda-tanda semakin jelas, semua semakin bertambah berubah. Masing-masing berjalan diatas kaki sendiri, entah mungkin sudah merasa mampu menghidupi dan mengejawantahkan keberadaan, bahwa jika tidak berada dengan mu atau mereka, toh diri masih dengan mereka dan dengan mu yang lain, yang penting 'eksis' dari sisi hidup.

Masing-masing berpikir tentang diri. Hidup tentang janji itu kian menipis. Hilang atau sengaja dibuat pergi sejauh masih bisa. Sengaja menahan hati dan sikap. Entah sebagai bentuk protes, atau ingin mengatakan "sebenarnya masih di sini, tapi katakanlah sesuatu wahai kamu, siapa saja". Katakan jika tidak begitu menyukai apa yang dilakukan sekarang? maka, diri tahu apa yang semestinya dilakukan. Atau sebagai bentuk mencari perhatian.

Aah, semua seakan percuma. Lisan menghiba ataupun meminta untuk diberi masukan, saran atau kritik yang dulunya atas dasar cinta sudah mentah di hati dan di logika. Penghalang diri begitu tebal dan begitu tinggi serta kokohnya hingga ke 'aku' an menjadi lebih dari janji yang seharusnya diberi lebih.

Padahal telah tahu, itu bukan janji biasa, tidak sekedar ikatan pernikahan, tidak sekedar ikatan anak dan orang tua, ataupun ikatan cinta lainnya, lebih dari itu. Ikatan itulah yang justru akan dimintai pertanggungjawabkan ketika bertemu muka diakhirnya, bukan pada manusia yang dikenal.

Pujian-pujian tentang surga, kalimat-kalimat suci untuk saling menyemangati bukan sesuatu yang luar biasa lagi, bahkan yang dulunya mampu membuat menangiskan hati dan meruntuhkan semua logika. Semua seperti tinggal kenangan. Orientasi hidup perlahan berpindah. Dan ringan berpikir, 'ku sudah pernah melewatinya, jadi masa sekarang bukan saat ku lagi, ada penerusnya, ada perpanjangan tangan lagi."

Impian-impian tentang tanah suci dan disucikan berpindah ke tempat-tempat yang mampu menghilangkan kegalauan dan kerisauan hati sementara. Alfatihah sudah semakin biasa saja, hamdalah pada setiap jejak tidak sama lagi nilainya. Kurang lebih sama yang dilakukan dulu dan sekarang, tapi mengakui rasa dan nilai di hati begitu berbeda.

Berbeda, hingga membuat tak tenang. Kebutuhan menggeser ketenangan. Orientasi menggeser ketenangan. perlahan tapi pasti. Sunatullah. 
 
Janji tinggal janji. Orientasi rupanya mampu menggeser ketenangan. Jika tanah yang diinginkan, maka tanah yang akan didapatkan dan pasti diberikan, jika bumi yang diiginkan, maka akan diberiNya bumi. Apakah tidak begitu penting bagi diri jika isi bumi dan langit untuk kau dapatkan karena diberikanNya.




*Janji berjalan pada hatimu. Bukankah nurani yang sedang membicarakannya tentang janji itu. Jalan ini hakikatnya panjang, pastikan berjalan dengan janji yang dibuat*






Postingan Populer