Berteduh Dari Hujan

Lelaki itu lebih menyandarkan tubuhnya pada dinding halte hijau tua. Kedua tangannya lebih merapat. Jaket kulit yang sudah kusam sepertinya tidak mampu menahan lebatnya hujan hari ini. Ia berdiri tepat disampingku. Wajahnya terlihat tua, tidak sesuai dengan usia sebenarnya, pikirku seenaknya.

"Baru pulang sekolah, Nak?" 
"Eh, tidak pak." aku terkaget menjawab pertanyaannya.

"Tidak apa-apa, saya hanya bertanya saja. Sekolah atau bekerja?"

"Kerja dilembaga pendidikan pak." Tersenyum aku menjawabnya.

"Pertanyaan saya tidak salah dong." 

"Iya pak, bekerja di sekolahan." 

"Betah Nak?"

"..." tersenyum aku mendengar pertanyaannya.

"Sepertinya menyenangkan ya Nak. Seperti kali ini. Hujan begitu deras, semua orang pasti akan berteduh. Tempat berteduh bisa apa saja. Yang dirumah akan memilih tetap dirumah, betah atau tidak betah, yang dijalan akan menghentikan kendaraannya dan berteduh dibangunan-bangunan yang beratap, walau tidak berdinding dengan semakin merapatkan tangan dan kakinya satu sama lain. Meskipun berkendaraan roda empat, mereka jauh lebih hati-hati mengendarainya, sekalipun itu penting, harus bersegera sampai tujuan. Apalagi pejalan kaki seperti kita. Cepat-cepat berteduh walaupun sempat basah karena tetesan air hujan."

"Iya Pak. Tidak ada pilihan lain kecuali berteduh." 

"Tidak juga, Nak. Semua tergantung kita. Beberapa orang melihat hujan dengan berbagai cara. Tapi kita lebih banyak tidak bersyukur akan hujan yang diberikan."

"Orang-orang akan memilih berteduh Pak, agar tidak sakit sepertinya."

"Itu alasan utamanya, Nak. Disaat yang lain sakit juga nikmatkan? tergantung pilihan utama yang ingin dicapaikan?."

"Ehmmm, ya Pak. Salahkah kita memilih berteduh?"

"Sama sekali tidak salah. Boleh-sangat boleh. Jikalau hujan ini sebagai ujian dan sesuatu hal yang tidak menyenangkan, kenapa saudara-saudara kita didaerah lain begitu merindukan hujan dinegerinya. Dan saat bersamaan, kita pun memilih menghindari hujan. Para orang penting yang berpendidikan, mengutak-atik semua latar belakang ilmu dengan satu  pembahasan, hujan. Semua aspek ilmu dijadikan tolak ukur kenapa disini hujan, disana tidak. Berbagai alasan disampaikan. Bisa dibenarkan, karena banyak kemungkinan. Disisi lain, orang-orang awan mengikuti nenek moyangnya dengan sesembahan mereka. Entah apa yang dilakukan orang awam itu, ada yang percaya, sedikit percaya, tidak percaya, dan lain-lain." 

"Sederhana tapi menaklukkan pemikiran."
"Sering terjadi, sederhana tapi berpengaruh, asal kita tidak menyelesaikan seperti orang awan. sudah banyak orang berilmu saat ini. Seperti itu ketika bekerja di lembaga pendidikan ya Nak?"

"Ya Pak."

"Perlu sesekali kita berteduh dari hujan dan pelangi akan ada, Nak. Yakin saja pelangi akan muncul di sudut langit Tuhan. Kalaupun tidak, langit kita masih sama, mungkin kita tidak sempat melihat pelangi itu. Kalalupun tidak melihatnya, ada yang lain yang melihatnya atau dikesempatan lain akan kita lihat sendiri.



"..." 




*hujan itu menjanjikan, sederhana itu mengagumkan, doa itu bersinar*









Postingan Populer