SchSchizofren : Jika Seseorang di antara yang kita cintai menderita gangguan Mental



SchSchizofren : jika seseorang di antara yang kita cintai menderita gangguan mental


            Saya, anda, kita semua, tak ingin berurusan dengan penyakit yang satu ini.
            Schizophrenia nama manisnya.
            Tak waras, gila, hilang ingatan, mental illness, adalah nama lainnya.
            Tetapi mengapa, begitu banyak orang yang semakin hari mengidap penyakit mental yang satu ini?
            Perjalanan panjang ke Sembalun, Pujon, Malang, hari Kamis 28 November memberikan perenungan pribadi bagi saya sebagai seorang insan yang faqir : tak satupun di antara makhlukNya memiliki daya upaya mengatasi ribuan rintangan kecuali dengan meminjam kekuatanNya.
            Simak baik-baik cerita berikut, nama-namanya saya samarkan.
            Soraya, seorang wanita yang nyaris sempurna. Suaminya mapan, ia sendiri memiliki karir cemerlang, dua anak cantik memeriahkan hidupnya. Tetapi bolak balik hidupnya bergantung ke rumah sakit jiwa. Soraya pun rajin sholat malam dan membaca Quran.
            Ferry, pemuda cerdas luarbiasa. Memiliki ingatan baik tentang ilmu dan juga hafal sebagian surah Quran.
            Irene, gadis cantik cerdas yang bolak balik masuk rumah sakit jiwa, hidup kedua orangtuanya berkecukupan. Irene berkata, “kenapa aku harus masuk rumah sakit jiwa?”
            Ada sekitar 40 orang yang dirawat, kami hanya mencoba meng konseling 8 orang.
            Pertanyaan yang menggema dalam benak hádala :
  1. Mengana penderita schizofren mulai remaja ke atas? Mengapa tak ada pasien anak-anak?
  2. Mengapa orang yang memiliki kebiasaan baik (dalam perilaku dan beragama) masih dihinggapi penyakit mental?
  3. Mengapa orang-orang ini bolak-balik keluar  mental health centre (tolong jangan katakan : Rumah Sakit Jiwa!)?
  4. Mengapa mereka begitu hidup dalam halusinasi?
  5. Bagaimana tanggapan keluarga, orangtua, anak-anak terhadap penderita schizofrenia?

Anak-anak, makhluk mungil dengan daya tahan luarbiasa!
            Coba lihat anak-anak, termasuk anak kita.
            Dimarahai, dimaki, dicubit, ditendang (naudzubillahi mindzalik) ia hanya akan menangis dan anehnya, beberapa saat kemudian tak mengalami gejala apapun.
            Tahukah kita, bahwa penderita schizofren tidak semuanya memiliki bawaan cacat organik yang artinya ’dari sana’ memang syaraf berpikirnya sudah rusak?
            Inilah fakta yang saya temukan di lapangan, remaja yang depresi luarbiasa, beberapa di antaranya menderita schizofren.
            Orangtua yang memaksakan anaknya menjadi model.
            Orangtua yang memaksakan anaknya menjadi dokter.
            Orangtua yang tidak bisa melihat angka rendah di rapor anaknya.
            Orangtua yang tak memberi asupan emosi sejak kecil hingga remaja.
            Saat anak-anak, kerusakan mental / jiwa tidak terlihat.

            Makhluk kecil ini (dalam falsafah sebagian orang) masih dilindungiNya, masih dilindungi malaikat, masih begitu suci. Sehingga mereka sanggup menerima derita yag luarbiasa hebat hanya dengan tersenyum.

            (Ah....aku ingat cerita anakku Nis, 2 SD, yang memiliki seorang teman : Nis, mamaku gak pernah sempat ngomong-ngomong sama aku –katanya sambil berlinang).
            Maka anda (dan saya tentu saja....), para orangtua….
            “Orangtua menjadikan anaknya Yahudi dan Majusi.”

            Beranjak remaja, taklif, baligh dimana beban pemilihan hidup sudah berada di pundak sang anak ia mulai berjuang menghadapi hidup dengan bekal kekuatan yang ia punya.
            Tanpa afeksi. Tanpa emosi. Tanpa teladan. Tanpa arah dan petunjuk
            Mereka remaja yang mungkin hidup dengan blackberry dan butik Banana Republik, Ripcurl. Dengan kosmetik Estee Lauder.  Tapi hati mereka berkelana kesepian, berjalan di atas patahan-patahan emosi dan semakin tersuruk ketika orangtua menghargai sesuatu dari materi. Ketika orangtua beranggapan bahwa hidup sukses adalah nilai sempurna SD SMP SMA, dan kuliah menjadi insinyur atau dokter. Berlanjut S2 S3. Punya uang banyak.
           
Banyak di antara kita yang tak menyadari, hati suci dan rapuh anak-anak kita hanya membutuhkan sedikit sentuhan.
            “Apa kabarmu , Sayang?
            Bagaimana sholat dan bacaan Quranmu hari ini?
            Kau tahu, mama hanya ingin kau berjuang sebaik mungkin. Tak perlu sempurna.
            Kau mau jadi apa : wartawan, penulis, pengusaha? Ow, kau mau jadi illustrator manga? Ow, kau ternyata lebih suka tata boga dan seni lukis?”

            Dekapan dan ciuman kita adalah obat terhebat dari semua farmakoterapi dan psikoterapis dari seluruh penjuru dunia.

            Dan siapa tahu…seiiring jalinan hangat antara anak dan orangtua, mungkin suatu saat ia mau berjuang dan menerima untuk menjadi dokter seperti impian orangtua. Tapi bukan sekarang. Bukan di saat anak-anak ingin melihat dunia ini dengan kacamata mereka yang jernih.

Remaja, makhluk pemberontak berhati rapuh
            “7 tahun pertama ia adalah raja 7 tahun kedua ia adalah tawanan, 7 tahun ketiga ia adalah teman.” (Imam Ali bin Abi Thalib ra).
            Ia adalah tawanan kita.
            Tetapi bukan dalam penjara besar dengan jeruji JANGAN dan HARUS.
            Ia adalah seorang manusia berenergi luarbiasa besar.
            Masa remaja diakui sebagai masa kritis manusia.

            ”Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. memahami masa remaja sangat penting karena masa remaja adalah masa depan tiap masyarakat, masa remaja mendasari penguasaan tugas masa depan.” (Santrock, 2004)
            Remaja adalah terhakimi dan terdakwa, andalah para orangtua sebagai polisi & hakimnya. Memangnya apa yang dilakukan para hakim sebelum menjatuhkan hukuman?
            Mencari alibi, mencari fakta, mencari bukti dan data, mencari informasi sebanyak-banyak, menyebar informan, menyerap atau mencuri berita.

            Apakah pernah kita mengintip isi sms , mencari tahu bahwa sang putri remaja kita lebih terbuka dan berkeluh kesah pada teman-temannya ketimbang kita orangtuanya?

            Apakah pernah mengintip apa comment di facebooknya, apa yang dibicarakan peer groupnya? Siapa sahabat dan teman mereka, siapa orang yang mereka kagumi dan dibenci?
           
Mungkin itulah, orangtua perlu tahu siapa Shinee dan Super Junior, mengapa mereka begitu digandrungi remaja cewek. Mungkin orangtua perlu bertanya, mengapa demikian jauh jarak terbentang antara remaja-orangtua; dan ruang-ruang yang mengisinya hanyalah rasa marah dan kecewa?

            (Ups, sebuah polling di sekolah X remaja usia SMP. Disebarkan angket peringkat SIAPA YANG PALING KALIAN BENCI?  Urutkan sesuai peringkat. Trata...inilah peringkat I : papa mama!)
            Jika kita, orangtua, adalah musuh utama sang anak terlebih yang menginjak dunia remaja, maka siapakah yang kemudian pantas menjadi kawan dekatnya? Alhamdulillah jika orang kedua yang dipatuhi anak-anaka dalah ustadz atau orang sholih. Biasanya, jika orangtua menjadi musuh utama , maka yang menggantikan posisi mereka adalah orang yang sama sekali jauh dari misi pencerahan si anak.

            Apakah para orangtua ini tak mencintai putra putri mereka yang remaja?
            Cinta yang demikian besar, tentu tetap konstan hingga sang orangtua tiada kelak. Tetapi kacamata yang tak sama, membuat warna dunia pun tak sama.

            Pendidikan mapan, uang, sandang pangan, ketersediaan fasilitas adalah pengalaman orangtua yang pahit getir membesarkan anak-anaknya. Jangan lupa, kita berada dalam usia dewasa madya ketika anak-anak baru saja amenapaki dunia dengan kaki mereka yang mulai menguat.

            ”Bagiku gak papa kerja uangnya dikit, yang penting aku senang jadi ilustrator.”
            ”Aku mau buka Otaku Cafe, cafe buat para pecinta manga.”

            Remaja tak akan memahami arti profesi dokter spesialis yang harus mengurus puluhan pasien, arti PNS yang seperti sang ayah pergi pagi pulang sore mengahadapi setumpuk kertas dan komputer. Ia adalah makhluk yang senang mewarnai dunia dengan gagasannya sendiri.

            Apakah remaja harus selalu dituruti agar sikap memberontaknya tak merusak peri kehidupan sebuah keluarga?
            Tidak juga.
            Tetapi energi orangtua saat menghadapi seorang remaja, akan jauh lebih besar. Inilah masanya malam-malam panjang qiyamul lail dan tilawah Quran (tahfizul Quran jika bisa). Malam-malam yang menghabiskan energi untuk bermunajat, sementara esok hari agenda harus diselesaikan segera. Masa dimana energi kita harus berlipat untuk lebih pandai mengunci mulut saat anak-anak memprotes, ”kenapa sih Ummi berdakwah? Kenapa sih ayah tidak sekaya oranglain? Kenapa aku harus dilarang ini itu sementara temanku tidak? Lihat tuh, si A sudah pacaran. Jalan-jalan ke mall. Kenapa aku nggak boleh ke bioskop? Kenapa aku banyak larangan? Kenapa gak ada yang bisa ngertiin aku? Kenapa guru-guru banyak tuntutannya? Kenapa teman-temanku mencemooh hobbyku yang tak biasa? Kenapa aku harus jadi dokter atau insinyur sementara aku tak suka suntik atau mesin?”
            Jika membuka sedikit jendela mata remaja, maka anda akan menangis dibuatnya.
            Ia bukan anak-anak, tapi juga belum dewasa.
            Ia tak lemah, namun juga belum terlalu kuat menapak.
            Ia ingin segera terbang, tapi sayapnya masih terlampau kecil.
            Dan ia menghadapi dunia yang tak ramah.
            Dunia yang menyuguhkan tayangan sexual, kekerasan, manipulasi, korupsi. Ia bimbang ketika orang tuanya mengambil pilihan begini dan begitu.
            Maka tak ada pilihan lain bagi orangtua, menjadikan anaknya seperti tawanan sebagaimana imam Ali ra berkata, tetapi menawannya dengan pagar-pagar kebaikan dan keteladanan.
            Irene, adalah contoh gadis di negeri ini yang diderita ribuan gadis remaja lain. Ia tak merasa bermasalah, tetapi orangtuanya beranggapan Irene sudah gila. Memang, Irene mengalami halusinasi yang tak mudah dilenyapkan, setelah deraan demi deraan panjang.
            Jika Irene memilih tinggal di alam khayalannya sebab tak seorangpun di dunia nyata mau menjadi temannya, termasuk orangtuanya, maka salahkah bila ia memilih teman-teman tak nyata sebagai tempat berbagi?
            Dan Ferry, pemuda cerdas yang jika ia sehat terlihat tampan, seharusnya masih dapat berjalan dalam kehidupan normal dengan kecerdasan otaknya yang luarbiasa andai tak ada paksaan untuk menjadi tentara...
           
            Manusia Dewasa & Kualitas Hidup
            Bertemu perempuan seperti Soraya, saya bertanya-tanya, mengapa kehidupan yang demikian manis untuknya harus berakhir di Mental Health Centre? Bukankah ia seorang wanita yang rajin beribadah pula?
            Dalam konseling kami yang masih dalam taraf belajar, banyak hal dapat dicatat pada diri Soraya : kecemasan dan su’udzon – prasangka buruknya yang demikian besar pada suami. Sepanjang tahun kehidupan berumah tangga, Soraya memiliki sindrom kecemasan luarbiasa bahwa suatu saat, suaminya akan berselingkuh dengan perempuan mengingat kedudukan suaminya. Jika pikiran Soraya dipenuhi prasangka, ia bisa terjangkit insomnia dan somnabulisme – berjalan sambil tidur.
            Kecemasan Soraya pada awalnya digempur dengan farmakoterapi tetapi ketika tubuhnya tak lagi dapat mentoleransi obat, Soraya harus tinggal di Mental Health Centre.
            Alhamdulillah...Soraya berada dalam insight yang hampir utuh. Ia boleh pulang dalam jangka waktu dekat. Selama rawat inap, Soraya terus menjalankan Qiyamullail dan tilawah Quran, memperbaiki persepsinya yang keliru tentang hubungan antar manusia. Ia bertekad melawan kecemasan dirinya dengan rasa berani : saya tak akan mau selalu dalam kondisi cemas. Mungkin, kita menyimpulkannya sebagai perasaan pasrah dan tawakkal...
            Sebagai manusia dewasa yang telah melampaui masa kanak dan remaja, yang, mungkin saja tak memenuhi persyaratan untuk menjadi manusia sehat normal seutuhnya, kita tentu mulai memiliki pengalaman dalam menjalani kehidupan.
            Di dunia ini, jika mengambil teori Freud, adakah manusia yang melalui masa oral-anal-falik dengan sempurna? Atau adakah orang yang mengalami 8 tahap perkembangan Eriksson mulai basic trust hingga ego integrity dengan selamat sentosa? Pastilah terjadi suatu masa dan fase dimana perjalanan hidup tak dapat berjalan senormal orang-orang lain. Sebagai contoh, seorang remaja yang seharusnya mendapatkan dekapan hangat sepasang orangtua, ternyata salah satu orangtuanya tiada entah karena meninggal, cacat atau sakit yang lama, atau perceraian. Fase yang dilalui dalam keadaan badai, akan menimbulkan permasalahan dalam fase perkembangan psikis yang berikutnya.
            Manusia dewasa, tentunya demikian.
            Setiap manusia, memiliki ujian masing-masing. Ada yang tak diberi kemampuan ekonomi layak, ada yang tak diberi keturunan, ada yang tak diberi kesehatan. Me-list kekurangan, pastinya menimbulkan daftar panjang.
            Cobalah me-list apa kelebihan dan potensi yang dimiliki.
            Kualitas hidup, harus lebih meingkat seiring proses waktu dan usia ke arah dewasa mula, madya maupun matang. Sholat 5 waktu sudah, sunnah sudah, haji sudah. Perlu ditingkatkan, misal kepekaan sosial. Yang wajib sudah, perlu ditingkatkan apa makna sholat yang sebenarnya? Demikian seterusnya.
            Soraya telah mendapatan semua dalam bentuk materi.
            Ia merasa cukup, tak perlu menambah pintu-pintu kebaikan. Mungkin akan jauh lebih baik jika Soraya aktif dalam kegiatan sosial dan pengajian, sehingga kegiatannya tak hanya berkisar antara kantor-rumah. Ia dapat sharing dan menimba ilmu dengan banyak perempuan, bahwa tak semua lelaki berpotensi selingkuh, sekalipun harta dan jabatan memungkinkan.
            Ragu, cemas, takut, khawatir, adalah sisi gelap yang pasti ada dalam jiwa manusia.

            Keluarga, pilar utama
            Sama seperti seorang penderita diabetes, pihak keluarga diminta untuk turut serta mengawasi pola makan sehat dan perilaku hidup sehat. Penderita darah tinggi dan stroke, keluarga akan diminta untuk tidak menciptakan lingkungan yang menjadi stimulus naiknya tekanan darah.
            30% pasien di Wikarta Mandala, dinyatakan menjadi pasien  inventaris, yang berdasarkan diagnosis dan life record (mereka dirawat 10 tahun-an) akan schizofren sepanjang usia. Orang-orang ini mengalami gangguan mental sebab organik (kecelakaan), hereditas (keturunan), dan kerusakan emosi yang sudah terlampau parah-terlambat ditanggulangi.
            70%, sebetulnya masih berpotensi sembuh.
            Soraya, adalah salah satu contoh yang mengharukan.
            Perempuan ini bolak balik menjalani rawat jalan dan inap, tetapi kedua putri dan suaminya mendampingi dengan setia dan memberi dukungan. Tak malu mendampingi seorang istri dan ibu yang –maaf- dicap gila. Ada masanya saat Soraya menghadapi tekanan kerja dan tekanan hidup yang  keras, ia harus mengkonsumsi obat atau menjalani psikoterapi.
            Namun tak semua seberuntung Soraya.
            Ferry, Irene, dan beberapa klien sejak kecil kenyang dihajar orangtua. Jika orangtua belahan jiwa, titisan darah, tega menyakiti secara fisik dan psikis; dimanakah sang anak akan berteduh?

            Masyarakat, lingkungan yang menyembuhkan
            Schizofren atau orang gila, tak gila 24 jam. Sekali waktu mereka tersadar sebelum kemudian lepas ingatan lagi.
            Stigma negatif, salah satu yang harus dilawan. Setiap orang berpotensi stress, frustasi, depressi bahkan bila tak tertanggungkan menjadi schizofren. Naudzubillahi mindzalik, apalagi dalam kehidupan yang demikian kompleks.

            Waspadai semua gejala schizofren terutama pribadi schizotipe
            Bagi mereka yang (termasuk anda mungkin, tanpa bermaksud menghina atau mencela ) :
  1. Suka menyimpan rapat permasalahan, tekanan , hinaan, problem tanpa mau membaginya dengan orangluar
  2. Suka menyendiri, tak suka bersosialisasi
  3. Memendam sesuatu tetapi suatu saat melampiaskan karena suatu picuan. Misal : anda dikenal sebagai orang yang sangat sabar (padahal anda ngempet), lalu ketika ada kesempatan marah pada kucing, kucing itu ditendang sekuat tenaga tanpa peduli ia terkapar.
  4. Sering mengalami psikosomatis (gemetar, pusing pening, berdebar, keringatan,dsb)
  5. Berkhayal dan berhalusinasi yang melampaui batas
  6. Erupsi kemarahan meledak suatu saat jauh melampaui orang normal

tak ada salahnya.......berbagi sejak awal kepada siapa saja yang dapat dipercaya.
Sejatinya, Yang Maha Kuasa adalah tempat terbaik berkeluh kesah. Quran adalah kitab suci petunjuk dan pengobat jiwa. Tetapi ketika sosok nyata dibutuhkan, teman, sahabat atau keluarga dapat menjadi pilihan. Dan jika masih tak menemukan teman yang dapat dipercaya; datangilah biro konseling atau biro psikologi yang insyaAllah tersedia di kampus-kampus yang memiliki fakultas psikologi.

Konseling & Psikoterapi

            Tak harus menunggu depressi untuk datang kepada konselor.
            Sejak dapat kuliah Psikoterapi dan Teknik Konseling, saya juga baru tahu, bahwa dibutuhan beberapa skill untuk menjadi konselor. Saya sendiri baru belajar menjadi pendengar aktif & pendengar empatik. Konselor bukanlah pemberi nasehat. Kita akan bersama –sama menemukan, potensi apa yang jauh terpendam dalam diri manusia sebagaimana akan menemukan akar permasalahan yang dapat dibuang sejauh-jauhnya. Atau jika mau, dihadapi untuk ditumbangkan / di anulir.
            Jika dirasa perlu, biro akan menawarkan test kepribadian atau test bakat; tergantung kebutuhan klien.
            Orangtua yang bingung mencarikan masa depan untuk anaknya, cara ini dapat ditempuh. Jika sang anak tak memiliki bakat menjadi dokter dan sebaliknya ia adalah calon seniman, tak sepantasnya orangtua memaksanya demikian.
            Mereka yang memiliki masalah keluarga, tak harus menunggu di gerbang perceraian untuk meminta pendapat pada terapis.

Catatan manis dari Mental Health Centre :
Ada orang-orang seperti dr. Candra dan pak Yudi, perawat yang 20 tahun berkhidmat di sana. Merekalah orang-orang luarbiasa yang menjadi teman para penderita schizofren saat mereka dalam kesendirian.
            Sesungguhnya, saat tertimpa masalah berat, yakinlah, kita tak sendirian di atas muka bumi ini. Jangan merasa sepi dan terkucil sebab Allah dan para malaikatNya mengawasi. Masih tersedia pula orang-orang baik hati sebagai tempat berbagi.
            Saya dan anda, kita semua  adalah pribadi yang istimewa.
            Kita masih punya orang-orang yang kita cintai.
            Masih ada pula yang mencintai kita.
            Jika suatu masa terasa demikian berat, yakinlah , masa itu akan lewat.
            Keluarga, adalah harta sangat berharga yang harus diupayakan dengan segala cara baik doa, ilmu, upaya, usaha agar memberi kekuatan kepada tiap individu menjadi insan tangguh melintasi zaman.

http://sintayudisia.multiply.com/journal/item/119           
izofren : jika seseorang di antara yang kita cintai menderita gangguan mental


            Saya, anda, kita semua, tak ingin berurusan dengan penyakit yang satu ini.
            Schizophrenia nama manisnya.
            Tak waras, gila, hilang ingatan, mental illness, adalah nama lainnya.
            Tetapi mengapa, begitu banyak orang yang semakin hari mengidap penyakit mental yang satu ini?
            Perjalanan panjang ke Sembalun, Pujon, Malang, hari Kamis 28 November memberikan perenungan pribadi bagi saya sebagai seorang insan yang faqir : tak satupun di antara makhlukNya memiliki daya upaya mengatasi ribuan rintangan kecuali dengan meminjam kekuatanNya.
            Simak baik-baik cerita berikut, nama-namanya saya samarkan.
            Soraya, seorang wanita yang nyaris sempurna. Suaminya mapan, ia sendiri memiliki karir cemerlang, dua anak cantik memeriahkan hidupnya. Tetapi bolak balik hidupnya bergantung ke rumah sakit jiwa. Soraya pun rajin sholat malam dan membaca Quran.
            Ferry, pemuda cerdas luarbiasa. Memiliki ingatan baik tentang ilmu dan juga hafal sebagian surah Quran.
            Irene, gadis cantik cerdas yang bolak balik masuk rumah sakit jiwa, hidup kedua orangtuanya berkecukupan. Irene berkata, “kenapa aku harus masuk rumah sakit jiwa?”
            Ada sekitar 40 orang yang dirawat, kami hanya mencoba meng konseling 8 orang.
            Pertanyaan yang menggema dalam benak hádala :
  1. Mengana penderita schizofren mulai remaja ke atas? Mengapa tak ada pasien anak-anak?
  2. Mengapa orang yang memiliki kebiasaan baik (dalam perilaku dan beragama) masih dihinggapi penyakit mental?
  3. Mengapa orang-orang ini bolak-balik keluar  mental health centre (tolong jangan katakan : Rumah Sakit Jiwa!)?
  4. Mengapa mereka begitu hidup dalam halusinasi?
  5. Bagaimana tanggapan keluarga, orangtua, anak-anak terhadap penderita schizofrenia?

Anak-anak, makhluk mungil dengan daya tahan luarbiasa!
            Coba lihat anak-anak, termasuk anak kita.
            Dimarahai, dimaki, dicubit, ditendang (naudzubillahi mindzalik) ia hanya akan menangis dan anehnya, beberapa saat kemudian tak mengalami gejala apapun.
            Tahukah kita, bahwa penderita schizofren tidak semuanya memiliki bawaan cacat organik yang artinya ’dari sana’ memang syaraf berpikirnya sudah rusak?
            Inilah fakta yang saya temukan di lapangan, remaja yang depresi luarbiasa, beberapa di antaranya menderita schizofren.
            Orangtua yang memaksakan anaknya menjadi model.
            Orangtua yang memaksakan anaknya menjadi dokter.
            Orangtua yang tidak bisa melihat angka rendah di rapor anaknya.
            Orangtua yang tak memberi asupan emosi sejak kecil hingga remaja.
            Saat anak-anak, kerusakan mental / jiwa tidak terlihat.

            Makhluk kecil ini (dalam falsafah sebagian orang) masih dilindungiNya, masih dilindungi malaikat, masih begitu suci. Sehingga mereka sanggup menerima derita yag luarbiasa hebat hanya dengan tersenyum.

            (Ah....aku ingat cerita anakku Nis, 2 SD, yang memiliki seorang teman : Nis, mamaku gak pernah sempat ngomong-ngomong sama aku –katanya sambil berlinang).
            Maka anda (dan saya tentu saja....), para orangtua….
            “Orangtua menjadikan anaknya Yahudi dan Majusi.”

            Beranjak remaja, taklif, baligh dimana beban pemilihan hidup sudah berada di pundak sang anak ia mulai berjuang menghadapi hidup dengan bekal kekuatan yang ia punya.
            Tanpa afeksi. Tanpa emosi. Tanpa teladan. Tanpa arah dan petunjuk
            Mereka remaja yang mungkin hidup dengan blackberry dan butik Banana Republik, Ripcurl. Dengan kosmetik Estee Lauder.  Tapi hati mereka berkelana kesepian, berjalan di atas patahan-patahan emosi dan semakin tersuruk ketika orangtua menghargai sesuatu dari materi. Ketika orangtua beranggapan bahwa hidup sukses adalah nilai sempurna SD SMP SMA, dan kuliah menjadi insinyur atau dokter. Berlanjut S2 S3. Punya uang banyak.
           
Banyak di antara kita yang tak menyadari, hati suci dan rapuh anak-anak kita hanya membutuhkan sedikit sentuhan.
            “Apa kabarmu , Sayang?
            Bagaimana sholat dan bacaan Quranmu hari ini?
            Kau tahu, mama hanya ingin kau berjuang sebaik mungkin. Tak perlu sempurna.
            Kau mau jadi apa : wartawan, penulis, pengusaha? Ow, kau mau jadi illustrator manga? Ow, kau ternyata lebih suka tata boga dan seni lukis?”

            Dekapan dan ciuman kita adalah obat terhebat dari semua farmakoterapi dan psikoterapis dari seluruh penjuru dunia.

            Dan siapa tahu…seiiring jalinan hangat antara anak dan orangtua, mungkin suatu saat ia mau berjuang dan menerima untuk menjadi dokter seperti impian orangtua. Tapi bukan sekarang. Bukan di saat anak-anak ingin melihat dunia ini dengan kacamata mereka yang jernih.

Remaja, makhluk pemberontak berhati rapuh
            “7 tahun pertama ia adalah raja 7 tahun kedua ia adalah tawanan, 7 tahun ketiga ia adalah teman.” (Imam Ali bin Abi Thalib ra).
            Ia adalah tawanan kita.
            Tetapi bukan dalam penjara besar dengan jeruji JANGAN dan HARUS.
            Ia adalah seorang manusia berenergi luarbiasa besar.
            Masa remaja diakui sebagai masa kritis manusia.

            ”Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. memahami masa remaja sangat penting karena masa remaja adalah masa depan tiap masyarakat, masa remaja mendasari penguasaan tugas masa depan.” (Santrock, 2004)
            Remaja adalah terhakimi dan terdakwa, andalah para orangtua sebagai polisi & hakimnya. Memangnya apa yang dilakukan para hakim sebelum menjatuhkan hukuman?
            Mencari alibi, mencari fakta, mencari bukti dan data, mencari informasi sebanyak-banyak, menyebar informan, menyerap atau mencuri berita.

            Apakah pernah kita mengintip isi sms , mencari tahu bahwa sang putri remaja kita lebih terbuka dan berkeluh kesah pada teman-temannya ketimbang kita orangtuanya?

            Apakah pernah mengintip apa comment di facebooknya, apa yang dibicarakan peer groupnya? Siapa sahabat dan teman mereka, siapa orang yang mereka kagumi dan dibenci?
           
Mungkin itulah, orangtua perlu tahu siapa Shinee dan Super Junior, mengapa mereka begitu digandrungi remaja cewek. Mungkin orangtua perlu bertanya, mengapa demikian jauh jarak terbentang antara remaja-orangtua; dan ruang-ruang yang mengisinya hanyalah rasa marah dan kecewa?

            (Ups, sebuah polling di sekolah X remaja usia SMP. Disebarkan angket peringkat SIAPA YANG PALING KALIAN BENCI?  Urutkan sesuai peringkat. Trata...inilah peringkat I : papa mama!)
            Jika kita, orangtua, adalah musuh utama sang anak terlebih yang menginjak dunia remaja, maka siapakah yang kemudian pantas menjadi kawan dekatnya? Alhamdulillah jika orang kedua yang dipatuhi anak-anaka dalah ustadz atau orang sholih. Biasanya, jika orangtua menjadi musuh utama , maka yang menggantikan posisi mereka adalah orang yang sama sekali jauh dari misi pencerahan si anak.

            Apakah para orangtua ini tak mencintai putra putri mereka yang remaja?
            Cinta yang demikian besar, tentu tetap konstan hingga sang orangtua tiada kelak. Tetapi kacamata yang tak sama, membuat warna dunia pun tak sama.

            Pendidikan mapan, uang, sandang pangan, ketersediaan fasilitas adalah pengalaman orangtua yang pahit getir membesarkan anak-anaknya. Jangan lupa, kita berada dalam usia dewasa madya ketika anak-anak baru saja amenapaki dunia dengan kaki mereka yang mulai menguat.

            ”Bagiku gak papa kerja uangnya dikit, yang penting aku senang jadi ilustrator.”
            ”Aku mau buka Otaku Cafe, cafe buat para pecinta manga.”

            Remaja tak akan memahami arti profesi dokter spesialis yang harus mengurus puluhan pasien, arti PNS yang seperti sang ayah pergi pagi pulang sore mengahadapi setumpuk kertas dan komputer. Ia adalah makhluk yang senang mewarnai dunia dengan gagasannya sendiri.

            Apakah remaja harus selalu dituruti agar sikap memberontaknya tak merusak peri kehidupan sebuah keluarga?
            Tidak juga.
            Tetapi energi orangtua saat menghadapi seorang remaja, akan jauh lebih besar. Inilah masanya malam-malam panjang qiyamul lail dan tilawah Quran (tahfizul Quran jika bisa). Malam-malam yang menghabiskan energi untuk bermunajat, sementara esok hari agenda harus diselesaikan segera. Masa dimana energi kita harus berlipat untuk lebih pandai mengunci mulut saat anak-anak memprotes, ”kenapa sih Ummi berdakwah? Kenapa sih ayah tidak sekaya oranglain? Kenapa aku harus dilarang ini itu sementara temanku tidak? Lihat tuh, si A sudah pacaran. Jalan-jalan ke mall. Kenapa aku nggak boleh ke bioskop? Kenapa aku banyak larangan? Kenapa gak ada yang bisa ngertiin aku? Kenapa guru-guru banyak tuntutannya? Kenapa teman-temanku mencemooh hobbyku yang tak biasa? Kenapa aku harus jadi dokter atau insinyur sementara aku tak suka suntik atau mesin?”
            Jika membuka sedikit jendela mata remaja, maka anda akan menangis dibuatnya.
            Ia bukan anak-anak, tapi juga belum dewasa.
            Ia tak lemah, namun juga belum terlalu kuat menapak.
            Ia ingin segera terbang, tapi sayapnya masih terlampau kecil.
            Dan ia menghadapi dunia yang tak ramah.
            Dunia yang menyuguhkan tayangan sexual, kekerasan, manipulasi, korupsi. Ia bimbang ketika orang tuanya mengambil pilihan begini dan begitu.
            Maka tak ada pilihan lain bagi orangtua, menjadikan anaknya seperti tawanan sebagaimana imam Ali ra berkata, tetapi menawannya dengan pagar-pagar kebaikan dan keteladanan.
            Irene, adalah contoh gadis di negeri ini yang diderita ribuan gadis remaja lain. Ia tak merasa bermasalah, tetapi orangtuanya beranggapan Irene sudah gila. Memang, Irene mengalami halusinasi yang tak mudah dilenyapkan, setelah deraan demi deraan panjang.
            Jika Irene memilih tinggal di alam khayalannya sebab tak seorangpun di dunia nyata mau menjadi temannya, termasuk orangtuanya, maka salahkah bila ia memilih teman-teman tak nyata sebagai tempat berbagi?
            Dan Ferry, pemuda cerdas yang jika ia sehat terlihat tampan, seharusnya masih dapat berjalan dalam kehidupan normal dengan kecerdasan otaknya yang luarbiasa andai tak ada paksaan untuk menjadi tentara...
           
            Manusia Dewasa & Kualitas Hidup
            Bertemu perempuan seperti Soraya, saya bertanya-tanya, mengapa kehidupan yang demikian manis untuknya harus berakhir di Mental Health Centre? Bukankah ia seorang wanita yang rajin beribadah pula?
            Dalam konseling kami yang masih dalam taraf belajar, banyak hal dapat dicatat pada diri Soraya : kecemasan dan su’udzon – prasangka buruknya yang demikian besar pada suami. Sepanjang tahun kehidupan berumah tangga, Soraya memiliki sindrom kecemasan luarbiasa bahwa suatu saat, suaminya akan berselingkuh dengan perempuan mengingat kedudukan suaminya. Jika pikiran Soraya dipenuhi prasangka, ia bisa terjangkit insomnia dan somnabulisme – berjalan sambil tidur.
            Kecemasan Soraya pada awalnya digempur dengan farmakoterapi tetapi ketika tubuhnya tak lagi dapat mentoleransi obat, Soraya harus tinggal di Mental Health Centre.
            Alhamdulillah...Soraya berada dalam insight yang hampir utuh. Ia boleh pulang dalam jangka waktu dekat. Selama rawat inap, Soraya terus menjalankan Qiyamullail dan tilawah Quran, memperbaiki persepsinya yang keliru tentang hubungan antar manusia. Ia bertekad melawan kecemasan dirinya dengan rasa berani : saya tak akan mau selalu dalam kondisi cemas. Mungkin, kita menyimpulkannya sebagai perasaan pasrah dan tawakkal...
            Sebagai manusia dewasa yang telah melampaui masa kanak dan remaja, yang, mungkin saja tak memenuhi persyaratan untuk menjadi manusia sehat normal seutuhnya, kita tentu mulai memiliki pengalaman dalam menjalani kehidupan.
            Di dunia ini, jika mengambil teori Freud, adakah manusia yang melalui masa oral-anal-falik dengan sempurna? Atau adakah orang yang mengalami 8 tahap perkembangan Eriksson mulai basic trust hingga ego integrity dengan selamat sentosa? Pastilah terjadi suatu masa dan fase dimana perjalanan hidup tak dapat berjalan senormal orang-orang lain. Sebagai contoh, seorang remaja yang seharusnya mendapatkan dekapan hangat sepasang orangtua, ternyata salah satu orangtuanya tiada entah karena meninggal, cacat atau sakit yang lama, atau perceraian. Fase yang dilalui dalam keadaan badai, akan menimbulkan permasalahan dalam fase perkembangan psikis yang berikutnya.
            Manusia dewasa, tentunya demikian.
            Setiap manusia, memiliki ujian masing-masing. Ada yang tak diberi kemampuan ekonomi layak, ada yang tak diberi keturunan, ada yang tak diberi kesehatan. Me-list kekurangan, pastinya menimbulkan daftar panjang.
            Cobalah me-list apa kelebihan dan potensi yang dimiliki.
            Kualitas hidup, harus lebih meingkat seiring proses waktu dan usia ke arah dewasa mula, madya maupun matang. Sholat 5 waktu sudah, sunnah sudah, haji sudah. Perlu ditingkatkan, misal kepekaan sosial. Yang wajib sudah, perlu ditingkatkan apa makna sholat yang sebenarnya? Demikian seterusnya.
            Soraya telah mendapatan semua dalam bentuk materi.
            Ia merasa cukup, tak perlu menambah pintu-pintu kebaikan. Mungkin akan jauh lebih baik jika Soraya aktif dalam kegiatan sosial dan pengajian, sehingga kegiatannya tak hanya berkisar antara kantor-rumah. Ia dapat sharing dan menimba ilmu dengan banyak perempuan, bahwa tak semua lelaki berpotensi selingkuh, sekalipun harta dan jabatan memungkinkan.
            Ragu, cemas, takut, khawatir, adalah sisi gelap yang pasti ada dalam jiwa manusia.

            Keluarga, pilar utama
            Sama seperti seorang penderita diabetes, pihak keluarga diminta untuk turut serta mengawasi pola makan sehat dan perilaku hidup sehat. Penderita darah tinggi dan stroke, keluarga akan diminta untuk tidak menciptakan lingkungan yang menjadi stimulus naiknya tekanan darah.
            30% pasien di Wikarta Mandala, dinyatakan menjadi pasien  inventaris, yang berdasarkan diagnosis dan life record (mereka dirawat 10 tahun-an) akan schizofren sepanjang usia. Orang-orang ini mengalami gangguan mental sebab organik (kecelakaan), hereditas (keturunan), dan kerusakan emosi yang sudah terlampau parah-terlambat ditanggulangi.
            70%, sebetulnya masih berpotensi sembuh.
            Soraya, adalah salah satu contoh yang mengharukan.
            Perempuan ini bolak balik menjalani rawat jalan dan inap, tetapi kedua putri dan suaminya mendampingi dengan setia dan memberi dukungan. Tak malu mendampingi seorang istri dan ibu yang –maaf- dicap gila. Ada masanya saat Soraya menghadapi tekanan kerja dan tekanan hidup yang  keras, ia harus mengkonsumsi obat atau menjalani psikoterapi.
            Namun tak semua seberuntung Soraya.
            Ferry, Irene, dan beberapa klien sejak kecil kenyang dihajar orangtua. Jika orangtua belahan jiwa, titisan darah, tega menyakiti secara fisik dan psikis; dimanakah sang anak akan berteduh?

            Masyarakat, lingkungan yang menyembuhkan
            Schizofren atau orang gila, tak gila 24 jam. Sekali waktu mereka tersadar sebelum kemudian lepas ingatan lagi.
            Stigma negatif, salah satu yang harus dilawan. Setiap orang berpotensi stress, frustasi, depressi bahkan bila tak tertanggungkan menjadi schizofren. Naudzubillahi mindzalik, apalagi dalam kehidupan yang demikian kompleks.

            Waspadai semua gejala schizofren terutama pribadi schizotipe
            Bagi mereka yang (termasuk anda mungkin, tanpa bermaksud menghina atau mencela ) :
  1. Suka menyimpan rapat permasalahan, tekanan , hinaan, problem tanpa mau membaginya dengan orangluar
  2. Suka menyendiri, tak suka bersosialisasi
  3. Memendam sesuatu tetapi suatu saat melampiaskan karena suatu picuan. Misal : anda dikenal sebagai orang yang sangat sabar (padahal anda ngempet), lalu ketika ada kesempatan marah pada kucing, kucing itu ditendang sekuat tenaga tanpa peduli ia terkapar.
  4. Sering mengalami psikosomatis (gemetar, pusing pening, berdebar, keringatan,dsb)
  5. Berkhayal dan berhalusinasi yang melampaui batas
  6. Erupsi kemarahan meledak suatu saat jauh melampaui orang normal

tak ada salahnya.......berbagi sejak awal kepada siapa saja yang dapat dipercaya.
Sejatinya, Yang Maha Kuasa adalah tempat terbaik berkeluh kesah. Quran adalah kitab suci petunjuk dan pengobat jiwa. Tetapi ketika sosok nyata dibutuhkan, teman, sahabat atau keluarga dapat menjadi pilihan. Dan jika masih tak menemukan teman yang dapat dipercaya; datangilah biro konseling atau biro psikologi yang insyaAllah tersedia di kampus-kampus yang memiliki fakultas psikologi.

Konseling & Psikoterapi

            Tak harus menunggu depressi untuk datang kepada konselor.
            Sejak dapat kuliah Psikoterapi dan Teknik Konseling, saya juga baru tahu, bahwa dibutuhan beberapa skill untuk menjadi konselor. Saya sendiri baru belajar menjadi pendengar aktif & pendengar empatik. Konselor bukanlah pemberi nasehat. Kita akan bersama –sama menemukan, potensi apa yang jauh terpendam dalam diri manusia sebagaimana akan menemukan akar permasalahan yang dapat dibuang sejauh-jauhnya. Atau jika mau, dihadapi untuk ditumbangkan / di anulir.
            Jika dirasa perlu, biro akan menawarkan test kepribadian atau test bakat; tergantung kebutuhan klien.
            Orangtua yang bingung mencarikan masa depan untuk anaknya, cara ini dapat ditempuh. Jika sang anak tak memiliki bakat menjadi dokter dan sebaliknya ia adalah calon seniman, tak sepantasnya orangtua memaksanya demikian.
            Mereka yang memiliki masalah keluarga, tak harus menunggu di gerbang perceraian untuk meminta pendapat pada terapis.

Catatan manis dari Mental Health Centre :
Ada orang-orang seperti dr. Candra dan pak Yudi, perawat yang 20 tahun berkhidmat di sana. Merekalah orang-orang luarbiasa yang menjadi teman para penderita schizofren saat mereka dalam kesendirian.
            Sesungguhnya, saat tertimpa masalah berat, yakinlah, kita tak sendirian di atas muka bumi ini. Jangan merasa sepi dan terkucil sebab Allah dan para malaikatNya mengawasi. Masih tersedia pula orang-orang baik hati sebagai tempat berbagi.
            Saya dan anda, kita semua  adalah pribadi yang istimewa.
            Kita masih punya orang-orang yang kita cintai.
            Masih ada pula yang mencintai kita.
            Jika suatu masa terasa demikian berat, yakinlah , masa itu akan lewat.
            Keluarga, adalah harta sangat berharga yang harus diupayakan dengan segala cara baik doa, ilmu, upaya, usaha agar memberi kekuatan kepada tiap individu menjadi insan tangguh melintasi zaman.

http://sintayudisia.multiply.com/journal/item/119           

Postingan Populer